Skip to main content

Bibliohisme: Gila Buku atau Karena Buku Jadi Gila

Menggilai buku adalah wajar-wajar saja. Tentu dalam tahap yang tidak mengkhawatirkan. Namun, ada kasus di mana orang bisa gila karena buku atau menggilai buku secara berlebihan.

Boulard, seorang ahli hukum asal Perancis yang hidup pada abad ke-18, begitu bernafsu membeli buku. Sampai rumahnya tak cukup untuk menampung buku-bukunya, bahkan ia membeli enam rumah lagi untuk buku-bukunya. Sampai meninggalnya, Boulard memiliki 600 ribu sampai 800 ribu jilid buku. Dan ketika diloakkan, semuanya baru habis setelah lima tahun. Kegilaannya adalah Boulard tak membaca buku-buku tersebut.

Richard Heber, asal Inggris dan hidup pada abad ke-19, mirip dengan Boulard. Koleksinya yang berjumlah 200 ribu sampai 300 ribu buku, memaksa ia memiliki delapan rumah. Bedanya dengan Boulard, ia membeli dan selalu membaca buku-bukunya bahkan sampai akhir hayatnya.

Biblioholisme adalah hasrat untuk membeli, membaca, menyimpan, dan mengagumi buku yang cenderung berlebihan. Pelakunya disebut biblioholik. Tom Raabe, dalam buku "The Literary Addiction" (Fulcrum Publishing, 1991), menyebutkan ada dua jenis biblioholisme, yaitu bibliomania (gila buku) dan bibliofil (cinta buku).

Yang membedakan keduanya adalah motivasi. Seorang bibliomania membeli buku hanya untuk menumpuknya, seperti halnya Boulard. Sedang bibliofil mengharap dapat menguras isi dan kebijakan dari buku-bukunya, contohnya Heber.

Kasus kegilaan lain yang terkait dengan buku adalah yang dialami David Chapman diketahui membaca berulang-ulang novel The Catcher In The Rye karya J.D. Salinger sebelum menembak mati musisi besar John Lennon. Novel itu adalah sebuah novel yang dipenuhi dengan bahasa-bahasa kemarahan dan sempat tidak boleh diajarkan di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Chapman tidak dijatuhi hukuman mati karena dianggap gila ketika melakukan pembunuhan itu. Entah dia gila karena novel itu atau hal lain, yang jelas novel tersebut memiliki peran dalam perbuatannya.

Selain itu, ada buku-buku yang ditulis para penulis yang kerap diklasifikasikan sebagai orang gila. Donatien Alphonse François, yang tenar dengan nama Marquis de Sade (2 Juni 1740-2 Desember 1814) adalah bangsawan, penulis filsafat dan pornografi dengan kekerasan --istilah "sadisme" diturunkan dari namanya. Sade ditahan di beberapa penjara dan rumah sakit jiwa selama 29 tahun hidupnya, walaupun ia tidak pernah secara teknis didakwa melakukan kejahatan apa pun.

Sade adalah penulis yang gigih. Ketika tak diizinkan memiliki tinta dan kertas, ia menulis dengan tinta darurat, yang seringkali dibikin dari darahnya sendiri, dan menulis pada lembaran selimut. Karya-karyanya kemudian diselundupkan keluar oleh seorang gadis pekerja institusi tersebut dan diantarkan ke sebuah penerbit. Warga Paris pun terus mendapatkan pasokan cerita-cerita karya Sade. Penguasa kemudian berusaha membungkam sang Marquis dengan segala cara.

Sade dipisahkan dari sesama penghuni rumah sakit jiwa, bahkan disiksa dengan kejam oleh seorang dokter jiwa kenamaan, dan terakhir ia dikurung dalam keadaan bugil. Toh Sade tak surut semangatnya. Dalam keadaan bugil dan sendiri, ia menulis karyanya di tembok bui dengan kotorannya. Otoritas memutuskan untuk merantai dan memotong lidah Sade. Ia akhirnya mati di dalam bui.

Kemudian ada Dr W.C. Minor. Dia bukan seorang penulis buku, melainkan seorang pensiunan dokter di ketentaraan Amerika yang kemudian menjadi seorang pembunuh dan dipenjara di sebuah rumah sakit jiwa di Inggris. Dari balik jeruji sel ia mampu tampil sebagai kontributor untuk lebih dari sepuluh ribu kata dalam penyusunan kamus babon Oxford English Dictionary. Cerita hidupnya dikisahkan Simon Winchester dalam novel The Profesor and The Madman (Sang Profesor dan Orang Gila, Serambi, 2007).

Lebih lanjut Tom Raabe mengatakan, mengemukakan beberapa "penyakit jiwa" aneh menyangkut buku, ada bibliotaf, bibliokas, bibliofagi, dan biblionarsisis.

Seorang bibliotaf meminta saat ia mati nanti, ia dikuburkan dengan buku-bukunya, dengan peti mati terbuat dari kayu bekas rak bukunya. John Stewart meminta pembacanya menyimpan buku-bukunya dengan sebaik-baiknya. "Tempatkan dalam kotak anti-lembab, kuburkan sedalam tiga meter, dan rahasiakan tempatnya kecuali kepada orang kepercayaanmu," imbaunya.

Penderita bibliokas inginnya menghancurkan buku. Pernahkah kita datang ke perpustakaan atau pinjam buku teman, lalu ada halaman yang menarik dan kita tak tahan jika tak memilikinya, karenanya kita menyobek halaman itu. Beberapa orang terkenal pun punya kecenderungan bibliokas. Chares Darwin membelah buku tebal menjadi dua agar mudah menentengnya kemana-mana. Dan, tentu saja, bibliokas yang parah biasanya penguasa yang terlalu percaya pada kekuatan buku, dan memerintahkan membakar buku-buku yang tak disukai.

Bibliofagi yaitu orang yang suka makan buku. Sebagian orang pernah membakar buku pelajaran, abunya dicampur kopi lalu diminum dengan harapan isi buku itu menghunjam ke otaknya. Contoh lain, daripada dihukum pancung seorang penulis dari Skandinavia memilih pura-pura gila dengan memakan bukunya setelah direbus dalam air daging. Lebih malang lagi adalah Isaac Volmer yang juga harus makan bukunya tapi tanpa dimasak dulu. Atau Theodore Rinking, yang hidup pada abad 17, menerima tawaran memakan buku kontroversialnya --dan ia memesan saus khusus-- agar bebas dari penjara.

Yang terakhir, dan paling banyak penderitanya, adalah biblionarsisis (biblionarcissist). Dalam mitologi Yunani, kita tahu, Narcissus adalah seorang pemuda yang amat tampan --sampai-sampai ia jatuh cinta pada ketampanannya yang ia lihat terpantul dari sebuah kolam. Terus menerus di pinggir kolam, tak makan dan minum, ia akhirnya mati, dan berubah menjadi bunga Narsisis. Biblionarsisis kurang lebih seperti ini, ia mengkoleksi buku hanya untuk berlagak, bermegah-megah, pamer, dan mengagumi diri sendiri. Menurut agama, itu riya' (atau kita ganti saja istilahnya menjadi biblioriya'?).

Sumber dari
http://www.mizan.com/portal/template/BacaSelisik/kodeselisik/218
http://www.indonesiaindonesia.com/f/14286-buku-kegilaan/
http://findingrita.blogspot.com/2006/02/biblioholisme.html




Comments

Popular posts from this blog

Tata Ruang, Peralatan dan Perlengkapan Perpustakaan

GEDUNG/RUANG, PERALATAN DAN PERLENGKAPAN 1. Gedung/ruangan perpustakaan Gedung atau ruangan perpustakaan adalah bangunan yang sepenuhnya diperuntukkan bagi seluruh aktivitas sebuah perpustakaan. Disebut gedung apabila merupakan bangunan besar dan permanent, terpisah dari gedung lain sedangkan apabila hanya menempati sebagian dari sebuah gedung atau hanya sebuah bangunan (penggunan ruang kelas), relatif kecil disebut ruangan perpustakaan. 2. Perabot perpustakaan Perabot perpustakaan adalah sarana pendukung atau perlengkapan perpustakaan yang digunakan dalam proses pelayanan pemakai perpustakaan dan merupakan kelengkapan yang harus ada untuk terselenggaranya perpustakaan. Yang termasuk dalam perabot/perlengkapan perpustakaan antara lain : a. Rak buku b. Rak majalah c. Rak surat kabar d. Rak atlas dan kamus e. Papan peraga / pameran f. Laci penitipan tas g. Lemari catalog h. Lemari multi media i. Lemari Arsip j. Meja dan kursi sirkulasi k. Meja dan kursi baca l. Meja dan kursi pegawai m. ...

Kegiatan April - Mei 2012

Berikut adalah kegiatan terbaru Beranda Buku : Nama Kegiatan : Miniworkshop dan Roadshow Penulis Cilik KkPK (Kecil-kecil Punya Karya) serta Launching C.M.B (Club Menulis Beranda Buku) Tema : Be a writer; be inspired person   Hari dan tanggal   : Sabtu, 26 Mei 2012 Waktu                   : 08.30 – 12.00 WIB Sasaran kegiatan   : Siswa Kelas 3,4, dan 5 Target peserta        : 200 orang Tempat                  : SD IT Fitrah Insani 2 Biaya Pendaftaran : Rp. 5000/siswa tanpa snack                                 Rp. 7.500/siswa dengan snack* Fasilitas peserta     : D...

Advantages and Disadvantages Living in Jakarta

Generally, living in a big metropolis city is a dream for most of people around the world. Jakarta, as one of the cosmopolitan cities in the world, has many thing that can offer both of advantages and disadvantages. In Jakarta, we can find more public facilities than a smaller cities in Indonesia. Education opportuniy and other kinds of specific course are easy to find in here, for example University of Indonesia, as one of biggest university in Indonesia, is located in Jakarta. Other course such as IALF is available for student who want to improve their capability in English. Also more factories and center offices that establish in Jakarta need a big workforce and become a chance for us. Moreover, at the weekend, there are many choice to spend our time on entertainment. We can go to the movie in many places here, and go to the sport centers even in complete facilities like a gym and people who have shopping in hobby, they can visit some of big shopping malls such as Mall Ambassador, M...