Tanggal 30 September yang biasanya kita peringati sebagai hari berkabung untuk mengenang kekejaman PKI yang lazim di sebut G 30 S/PKI rupanya telah dilupakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Di jalan–jalan, di depan instansi maupun kantor–kantor swasta lainnya tidak tampak dikibarkan bendera setengah tiang. Kebiasaan yang dulu berakar di zaman orde baru kini lenyap sudah hanya dalam waktu beberapa tahun saja, sejak rezim orba itu tumbang dan digantikan dengan orde reformasi. Pergantian kekuasaan telah berlangsung beberapa kali setelah orde baru tumbang. Beberapa nama tokoh telah mengisi kursi kepresidenan dalam waktu lima tahun terakhir ini. Namun, kebijakan–kebijakan yang dihasilkan makin tidak berpihak kepada rakyat yang mengakibatkan kesengsaraan.
Kenaikan BBM merupakan keputusan pemerintah yang mengandung dilema. Di satu pihak murahnya harga BBM kita di pasaran internasional karena sebagian harganya ditekan oleh adanya subsidi pemerintah, telah menyebabkan sebagian orang yang tidak bertanggung jawab menyelundupkan dan kemudian menjualnya ke luar negeri dengan harga yang lebih mahal sesuai dengan harga pasaran dunia saat itu. Dari hasil penyelundupan BBM tersebut, negara dirugikan trilyunan rupiah. Yang seyogyanya uang tersebut dapat dialokasikan untuk pembangunan negeri ini.
Setelah subsidi BBM di cabut, maka harga BBM mengikuti harga pasaran internasional. Sebagian dana subsidi dialihkan kepada rakyat miskin yang menurut data dari BPS (Biro pusat Statistik) berjumlah sekitar 16 juta jiwa. Angka kemiskinan dan setengah miskin didata dengan berpatokan kepada penghasilan mereka yang berjumlah maksimal 150 ribu setiap bulannya. Pemerintah memberi dana bantuan subsidi sebesar 100 ribu perbulannya selama 3 tahun. Upaya tersebut dirasa cukup dan pemerintah menganggap telah memanfaatkan dana subsidi tersebut untuk kepentingan rakyat bukan dilarikan oleh para koruptor itu.
Beberapa orang miskin mengeluhkan dana sebesar itu, untuk kebutuhan selama satu bulan, mustahil cukup, namun sedikit membantu katanya, daripada tidak sama sekali. Ibaratnya “kita memberikan ikan, tidak memberi kail untuk bekal mencari ikan”, begitu ikan habis kita tidak bisa berbuat apapun, namun kalau kita diberi bekal kail dan diajari cara mendapatkan ikan, begitu ikan habis kita bisa mencari ikan berbekal kail tersebut. Namun, kenyataan tidak seindah harapan, kebijakan yang berlaku seperti itulah adanya.
1Oktober 2005 pemeritah mengumumkan kenaikan BBM sebesar lebih dari 50% setelah sebelumnya terjadi antrean panjang di banyak lokasi penyediaan BBM di seluruh Indonesia. Hal ini terjadi karena menghilangnya BBM di pasaran. Kalaupun ada, harganya jauh lebih tinggi. Mungkin, Hari Kesaktian Pancasila telah dimulai, sakti dalam menaikkan harga BBM tanpa melihat betapa sengsaranya rakyat.
Hari pertama kenaikan BBM, aksi demo dan pemogokan sebagian angkutan terus berlangsung. Dalam hal demonstrasi, rupanya pihak pengelola negeri ini telah kebal dengan adanya aksi tersebut. Meskipun jauh hari sebelumnya aksi menentang kenaikan BBM ini telah berlangsung namun pemerintah tetap konsisten untuk menaikkan harga BBM sesuai dengan yang telah diputuskan yakni tanggal 1 Oktober 2005.
Sudah bisa dibayangkan, dampak kenaikan BBM meluas ke segala aspek termasuk harga-harga kebutuhan pokok, sekunder maupun barang-barang mewah, ongkos angkutan sudah barang tentu naik.
Beberapa hari yang lalu, saya melakukan perjalanan ke kota Cirebon, hari kedua pasca kenaikan BBM ongkos bis antar kota Bandung - Cirebon naik sepuluh ribu, pertama saya kaget karena jauh dari yang sebelumnya saya perkirakan, namun saya tidak bisa berbuat apa-apa karena menurut keterangan dari kondektur, ini sudah keputusan dari dinas organda setempat. Saya hanya bisa diam, dan menerima keadaan tersebut dengan terpaksa.
Kejadian lain yang sungguh mengherankan ketika Walikota sebuah kota di Jawa Barat dan Wakilnya mendukung aksi para demonstran untuk menolak kenaikan BBM. Sungguh menggelikan, karena mereka pun bagian dari pemerintahan yang notabene harus mendukung keputusan kenaikan BBM. Seharusnya para demonstan itu jangan senang dulu didukung oleh walikotanya, mereka harus berpikir lebih jauh. Dia tidak semata-mata hanya menolak kenaikan BBM namun banyak kepentingan dibalik itu dengan memanfaatkan peristiwa di mana rakyat mendukung dia. Miris sekali saya melihatnya, untuk memperoleh kekuasaan mereka lakukan segala cara.
Saya tidak tahu lagi nasib negeri ini selanjutnya. Mungkinkah saya harus lari keluar dari negeri ini seperti yang sebelumnya saya ketahui dari sebuah media, ada seorang anak petinggi negeri ini yang punya kepekaan sosial lebih kepada masyarakat miskin. Dia melakukan apapun demi mereka, namun akhirnya dia putus asa karena semua yang telah dia lakukan tidak mengubah apapun. Bahkan jumlah angka kemiskinan semakin banyak, busung lapar di mana-mana, virus flu burung merajalela, jumlah gelandangan dan pengemis bertambah tidak terkontrol. Dia sedih, dan akhirnya pergi dari negeri ini walaupun begitu dicintainya. Kalau saya, dengan apa harus pergi keluar negeri? uang tabungan pun tidak cukup. Mungkin bagi seorang koruptor tingkat tinggi, hal itu mudah saja, apalagi sambil membawa lari uang negara. Saya percaya, mereka jauh berpengalaman dari saya. Dan saya tetap diam di negeri ini sambil menikmati tragedi bangsa ini. Karena aku begitu mencintainya dengan setengah hati.
Pasca kenaikan BBM 1 Oktober 2005
By Afitchan
Kenaikan BBM merupakan keputusan pemerintah yang mengandung dilema. Di satu pihak murahnya harga BBM kita di pasaran internasional karena sebagian harganya ditekan oleh adanya subsidi pemerintah, telah menyebabkan sebagian orang yang tidak bertanggung jawab menyelundupkan dan kemudian menjualnya ke luar negeri dengan harga yang lebih mahal sesuai dengan harga pasaran dunia saat itu. Dari hasil penyelundupan BBM tersebut, negara dirugikan trilyunan rupiah. Yang seyogyanya uang tersebut dapat dialokasikan untuk pembangunan negeri ini.
Setelah subsidi BBM di cabut, maka harga BBM mengikuti harga pasaran internasional. Sebagian dana subsidi dialihkan kepada rakyat miskin yang menurut data dari BPS (Biro pusat Statistik) berjumlah sekitar 16 juta jiwa. Angka kemiskinan dan setengah miskin didata dengan berpatokan kepada penghasilan mereka yang berjumlah maksimal 150 ribu setiap bulannya. Pemerintah memberi dana bantuan subsidi sebesar 100 ribu perbulannya selama 3 tahun. Upaya tersebut dirasa cukup dan pemerintah menganggap telah memanfaatkan dana subsidi tersebut untuk kepentingan rakyat bukan dilarikan oleh para koruptor itu.
Beberapa orang miskin mengeluhkan dana sebesar itu, untuk kebutuhan selama satu bulan, mustahil cukup, namun sedikit membantu katanya, daripada tidak sama sekali. Ibaratnya “kita memberikan ikan, tidak memberi kail untuk bekal mencari ikan”, begitu ikan habis kita tidak bisa berbuat apapun, namun kalau kita diberi bekal kail dan diajari cara mendapatkan ikan, begitu ikan habis kita bisa mencari ikan berbekal kail tersebut. Namun, kenyataan tidak seindah harapan, kebijakan yang berlaku seperti itulah adanya.
1Oktober 2005 pemeritah mengumumkan kenaikan BBM sebesar lebih dari 50% setelah sebelumnya terjadi antrean panjang di banyak lokasi penyediaan BBM di seluruh Indonesia. Hal ini terjadi karena menghilangnya BBM di pasaran. Kalaupun ada, harganya jauh lebih tinggi. Mungkin, Hari Kesaktian Pancasila telah dimulai, sakti dalam menaikkan harga BBM tanpa melihat betapa sengsaranya rakyat.
Hari pertama kenaikan BBM, aksi demo dan pemogokan sebagian angkutan terus berlangsung. Dalam hal demonstrasi, rupanya pihak pengelola negeri ini telah kebal dengan adanya aksi tersebut. Meskipun jauh hari sebelumnya aksi menentang kenaikan BBM ini telah berlangsung namun pemerintah tetap konsisten untuk menaikkan harga BBM sesuai dengan yang telah diputuskan yakni tanggal 1 Oktober 2005.
Sudah bisa dibayangkan, dampak kenaikan BBM meluas ke segala aspek termasuk harga-harga kebutuhan pokok, sekunder maupun barang-barang mewah, ongkos angkutan sudah barang tentu naik.
Beberapa hari yang lalu, saya melakukan perjalanan ke kota Cirebon, hari kedua pasca kenaikan BBM ongkos bis antar kota Bandung - Cirebon naik sepuluh ribu, pertama saya kaget karena jauh dari yang sebelumnya saya perkirakan, namun saya tidak bisa berbuat apa-apa karena menurut keterangan dari kondektur, ini sudah keputusan dari dinas organda setempat. Saya hanya bisa diam, dan menerima keadaan tersebut dengan terpaksa.
Kejadian lain yang sungguh mengherankan ketika Walikota sebuah kota di Jawa Barat dan Wakilnya mendukung aksi para demonstran untuk menolak kenaikan BBM. Sungguh menggelikan, karena mereka pun bagian dari pemerintahan yang notabene harus mendukung keputusan kenaikan BBM. Seharusnya para demonstan itu jangan senang dulu didukung oleh walikotanya, mereka harus berpikir lebih jauh. Dia tidak semata-mata hanya menolak kenaikan BBM namun banyak kepentingan dibalik itu dengan memanfaatkan peristiwa di mana rakyat mendukung dia. Miris sekali saya melihatnya, untuk memperoleh kekuasaan mereka lakukan segala cara.
Saya tidak tahu lagi nasib negeri ini selanjutnya. Mungkinkah saya harus lari keluar dari negeri ini seperti yang sebelumnya saya ketahui dari sebuah media, ada seorang anak petinggi negeri ini yang punya kepekaan sosial lebih kepada masyarakat miskin. Dia melakukan apapun demi mereka, namun akhirnya dia putus asa karena semua yang telah dia lakukan tidak mengubah apapun. Bahkan jumlah angka kemiskinan semakin banyak, busung lapar di mana-mana, virus flu burung merajalela, jumlah gelandangan dan pengemis bertambah tidak terkontrol. Dia sedih, dan akhirnya pergi dari negeri ini walaupun begitu dicintainya. Kalau saya, dengan apa harus pergi keluar negeri? uang tabungan pun tidak cukup. Mungkin bagi seorang koruptor tingkat tinggi, hal itu mudah saja, apalagi sambil membawa lari uang negara. Saya percaya, mereka jauh berpengalaman dari saya. Dan saya tetap diam di negeri ini sambil menikmati tragedi bangsa ini. Karena aku begitu mencintainya dengan setengah hati.
Pasca kenaikan BBM 1 Oktober 2005
By Afitchan
Comments